Rabu, 04 Agustus 2021

Brata

Kania melirik telpon genggamnya yang bergetar, nomor tidak dikenal. Kania malas meresponnya, biasanya telemarketing bank yang menelpon. Tapi sedetik kemudian Kania memutuskan mengangkat telpon tersebut, khawatir ada yang penting.


"Halo"
"Apa kabar Kania?" deg, suara berat itu
"Kabar baik pak, bapak apa kabar?"
"Kamu masih simpan nomorku?"  pertanyaan Kania dijawab dengan pertanyaan lain
"Tidak pak, aku masih kenal suara bapak", terdengar tawa renyah dari seberang sana, dan obrolan pun mengalir begitu saja. Ketika akhirnya Brata menutup telponnya, Kania terdiam. Setelah bertahun-tahun, siapa sangka Kania akan mendengar lagi suara itu. Suara yang dulu mengisi sebagian hari-hari Kania.

-----------------------------------------------------

"Pak, saya sudah di depan ballroom ya"
"Tunggu sebentar ya, saya baru selesai meeting di atas"
"Baik pak" Kania menutup telpon genggamnya.
Kemarin siang Brata tiba-tiba menelponnya, memintanya datang ke hotel ini. Kantor yang dipimpinnya, akan lauching product baru besok di hotel ini, dan beliau mengaku kekurangan personil di bagian acara lalu meminta Kania untuk membantu. Kania menyanggupi. Kania mengenal Brata minggu lalu, saat interview di kantor Brata. Jadi waktu Brata menelpon Kania, Kania sangat senang, dan beraharap ini sinyal kalau dia diterima bekerja di kantor Brata.

"Maaf menunggu lama ya Kania"
"Tidak apa-apa pak"
"Kelamaan ya? sampai order teh dan snack segala" kata Brata lagi, demi melihat meja didepan Kania
"Tadi dikasih sama petugas hotel, katanya dari bapak-bapak yang lagi seminar disini" Brata menoleh, dan mendapati beberapa pria seumurannya yang sedang coffee break dan terseyum ke arah Kania.
"Kamu ya, baru sebentar, sudah ada yang lirik, lalu kenapa tidak diminum?"
"Takut pak" Kania tertawa, Brata diam, lalu ikut tertawa
"Takut dipelet ya?"
"Takut pingsan" mereka tertawa lagi
"Ke kamar yok, saya sudah buka kamar"
"Eh, gimana maksudnya pak?"
Brata tertawa, "jangan panik gitu Kania, saya buka kamar buat anak2 persiapan dan taruh barang, mereka masih dikantor, 1-2 jam lagi mereka kesini"
"Ohhh ok"
Brata kembali tertawa renyah. Duhhh, jangan ketawa terus donk pak, lama-lama ini hati gak kuat rutuk Kania dalam hati.

Sudah 2 jam dikamar, masih belum ada yang datang, Kania sendirian. Brata hanya mengantar ke kamar, lalu kembali meeting di restoran hotel. Kamarnya luas dan langsung menghadap ke kolam. Kania membuka gorden kamar lebar-lebar. Dan selama 2 jam itu juga Kania tidak mengerjakan apa-apa hanya menonton televisi, makan. Sekarang Kania mengantuk. Tapi kalau dia tidur dan tiba-tiba Brata masuk, bagaimana? bisa bahaya. Tapi Kania benar-benar mengantuk. Tidur sebentar mungkin tidak apa-apa, Kania beranjak ke kasur. Nyatanya perasaan khawatir Brata tiba-tiba datang membuatnya tidak bisa lelap, hanya mata yang terpejam. Pikirannya kemana-mana.

Suara pintu dibuka, pasti Brata. Kania harus segera bangun dari tempat tidur, terlambat, Brata sudah melihatnya.
"Tidur?"
"Maaf pak, tadi saya ngantuk banget, bapak gak kasih kerjaan, trus kasurnya manggil-manggil" lagi-lagi Brata tertawa
"Tidak apa-apa Kania, saya bingung mau kasih kamu kerjaan apa. Tapi kok tidur high heels-nya gak dilepas?"
"Buat jaga-jaga pak" Kening Brata berkerut demi mendengar jawaban Kania, "Kalau bapak tiba-tiba masuk seperti sekarang dan mau macam-macam, saya tinggal tendang bapak pakai heels, pasti sakit pak" jawab Kania dengan muka serius tapi menggemaskan. 
Demi mendengar jawaban Kania, mau tidak mau, Brata kembali tertawa, "Kania, ada-ada saja, hahaha"
Duh, debar debar di dada Kania makin terasa jelas, sepertinya tawa renyah itu makin mencuri hati Kania.

Brata lalu mengambil sandal hotel dan memberikannya ke Kania, "pakai ini Kania, biar lebih nyaman", Kania menurut, mengganti heels-nya dengan sandal hotel lalu berjalan ke arah sofa, hendak duduk disamping Brata. Ini pertemuan pertama Kania dan Brata setelah wawancara kerja di kantor Brata, namun entah kenapa, Kania nyaman didekat Brata dan seperti sudah kenal lama. Membuatnya tidak merasa cangung untuk duduk di sofa, disamping Brata. Tapi belum lagi Kania sampai di sofa, Brata tiba-tiba berdiri, menahan tawa, lalu menarik lembut tangan Kania ke arah kamar mandi. Kania yang kaget tidak sempat mengelak, tapi menurut mengikuti Brata. 

Brata membuka pintu kamar mandi yang sejak tadi tertutup rapat, memegang lembut bahu Kania dengan dua tangannya, lalu mengarahkan Kania untuk menghadap salah satu sisi kamar mandi yang dindingnya full dengan cermin. Dan Brata yang berdiri tepat dibelakang Kania tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Kania hanya diam, bingung. 
Astaga, tertawa pun dia tetap mempesoan, batin Kania. Dan mereka berdiri sangat dekat, getar-getar halus kembali menggoda hati Kania. 
Kania yang penasaran akhirnya bertanya, "bapak kenapa tertawa?"
Susah payah Brata berhenti tertawa sambil tetap berdiri dibelakang Kania. 
"Kamu bohongin saya ya Kania?"
"Bohong tentang apa pak?"
"Kamu tulis di CV kamu, tinggi kamu 166 cm, ternyata kamu hanya setinggi dada saya"
Kania yang baru paham akhirnya nyengir, "kan syarat tinggi pelamar minimum 165 cm dan harus dicantumkan di CV, daripada saya tidak lolos seleksi awal, ya sudah, saya tulis saja tinggi badan saya ditambah heels" jawab Kania lugas
"Jadi tinggi kamu cuma 155 cm?"
"156 cm" cengir Kania, dan Brata sontak kembali tertawa, tawa yang sudah benar-benar mencuri hari Kania 

Lalu sepanjang sore mereka habiskan dengan ngobrol tentang banyak hal, mulai dari kuliah hingga pacar Kania, semua Brata tanya. Sampai akhirnya Brata berkata "Saya punya istri dan dua anak", dan entah kenapa, ada sedikit kecewa yang dirasakan Kania.  Dan Brata menangkap bersit kecewa itu.

"Sudah sore Kania, kita pulang saja, anak-anak kantor baru akan kesini nanti malam"
Entah mereka benar akan datang, atau itu hanya akal-akalan Brata saja, Kania tidak peduli, Kania senang bisa menghabiskan hari bersama Brata.

Dan hari itu hanya satu dari sekian hari yang akan Kania lewati bersama Brata, karna pada akhirnya hati Kania benar-benar tertambat pada Brata, suami perempuan lain.











Banyu

"Cukup mas, aku sudah gak bisa"

"Jangan bicara begitu Nin, kamu pasti bisa maafin aku"
"Lagi?" teriak Anin, 
"Aku sudah gak bisa mas, aku bosan dengan semua pengkhianatanmu, aku sudah bosan menutup mata, aku bosan menangis sendirian sementara kamu sibuk dengan gadis-gadismu diluaran sana". 
"Tapi aku yang gak bisa kalau kamu gak ada Nin"
"Gak bisa kenapa? Karna gak ada lagi perempuan bodoh yang bisa dengan tenang melihat semua pengkhianatan kamu? Karna gak ada lagi perempuan bodoh yang tetap ada disisi kamu dan tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa? Itu mau kamu mas?"

Hening, Banyu hanya diam. Dalam hati dia menyadari, dia sudah terlalu lama menyakiti hati Anin. Tapi kali ini dia benar-benar menyesal. Dan disaat dia menyesali semua perbuatannya dan berjanji untuk setia, Anin justru berkata lelah dan tak mau lagi bertahan, lalu dia bisa apa.

Demi melihat diamnya Banyu, Anin bertambah yakin untuk benar-benar pergi, hatinya sudah lelah memaafkan Banyu berkali-kali namun tetap dikianati berkali-kali juga. Entah sudah berapa nama yang hadir didalam hubungan meraka, dari satu, dua, tiga, lalu entah berapa. Dulu Anin hapal nama-nama itu secara berurutan, sekarang tidak lagi, mungkin Anin butuh buku untuk mencatatnya. Cukup sudah, Anin sudah benar-benar muak. Walau hatinya masih menyayangi Banyu, kali ini Anin enggan untuk bertahan.  
 
Masih jelas di ingatan Anin, ketika seorang perempuana datang ke kosannya. Perempuan yang tidak begitu cantik menurut Anin, tapi cukup modist untuk ukuran perempuan seumurannya. Perempuan yang dia tidak kenal sama sekali namun tiba-tiba melabraknya begitu saja. Berteriak dan menuduh Anin sudah merebut mas Banyu darinya. Anin hanya diam dan tidak menjawab. Teman-teman kosannya yang memang sedang makan siang di kantin ibu kos, mau tidak mau ikut menyimak teriakan perempuan yg ternyata bernama Gendis itu. Ketika akhirnya Banyu datang menyusul Gendis, Banyu bukannya meluruskan, malah meminta Anin untuk mengalah.

"Gendis cemburu Nin, dia mengira kita masih ada hubungan, jadi kamu maklumin aja ya"
Hah... apa dia bilang? maklum? lalu sejak kapan kami masih atau sudah tidak ada hubungan?
"Seharusnya aku yang marah mas, bukan dia" balas Anin, 
"Jangan ngomong begitu Nin, kalau mbak-mu ini tambah ngambek, mas yang repot" 
Anin melotot demi mendengar ucapan Banyu, "tolong bawa dia pergi mas, aku gak mau jadi tontonan seperti ini, kalau dia butuh penjelasan, silahkan mas jelaskan sendiri. Terserah mas mau ngomong apa ke dia, aku gak peduli mas. Mau itu kejadian sebenarnya atau kebohongan mas, terserah, aku gak peduli"
"Ya sudah, mas pamit ya" sahut Banyu sambil mengulurkan tangan yang langsung disambut dan dicium Anin seperti biasanya. Respon yang segera Anin sesali di detik berikutnya. Kebodohan kesekian yang Anin lakukan. 

Itu baru sedikit cerita tentang kecemburuan Gendis. Cemburu hanya karna pesan kecil yang Anin tempel di pintu kamar kosan Banyu. Kertas kecil yang bertuliskan "Mas, dicari ibu". Bagian mana yang membuat dia cemburu? Karna ibu mencari mas Banyu dan menelponku? Salah sendiri, kenapa tidak minta mas Banyu untuk dikenalkan ke ibu. Lagipula mas Banyu gak akan pernah mengenalkan gadis-gadisnya ke ibu, cukup aku saja yang ibu tau. Cukup aku saja yang selalu dicari ibu kalau ibu gagal menelpon mas Banyu. Cukup aku saja yg jadi tempat ibu menitip pesan untuk mas Banyu. 

Dan bukan kali itu saja, masih banyak lagi ulah Gendis yang membuat Anin malu dan membuat hati Anin sakit. Ulah yang selalu dibela Banyu dengan alasan Gendis cemburu. Gendis yang selalu Banyu sebut ''mbak" ke Anin. Tapi Anin malas memanggilnya mbak. Gendis terlalu manja, kekanak-kanakan. Tidak mencerminkan umurnya yang 5 tahun lebih tua dibandingkan Anin.

Lain waktu, Gendis juga pernah marah waktu ibu kos mas Banyu salah menyapanya dengan nama Anin. Anin yang sedang tidur siang dan terbangun karna dering hp, langsung kaget menerima omelan Gendis. Gendis menelpon Anin menggunakan hp mas Banyu. Tapi kali itu Anin tertawa puas dan membuat Gendis makin jengkel sampai membanting hp. 

Dan itu baru tentang Gendis. Belum tentang Dhatu, Harini, Jenar, Kanaya dan entah siapa lagi. Anin malas mengingat nama-nama itu. 

Hubungan Anin dan Banyu memang aneh. Dibilang pacaran kalau Banyu sedang tidak punya perempuan lain. Lalu Anin bisa berubah menjadi adik kalau Banyu sedang dekat dengan perempuan lain atau punya pacar lain. Dan kembali lagi menjadi pacar kalau Banyu sudah bosan dengan pacar barunya. Dan itu terus berulang selama hampir satu tahun terakhir, sejak Anin memutuskan untuk menyusul Banyu ke kota ini. Satu-satunya keputusan yang akan Anin sesali seumur hidupnya.